View Artikel Ilmiah

Kembali
NIM (Student Number)E1A110043
Nama MahasiswaAJI SETIYANINGSIH
Judul ArtikelTinjauan Yuridis Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia
AbstrakPasca Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan PP No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, pro dan kontra kembali mewarnai panggung hukum dan politik Indonesia. PP yang ditandatangani pada tanggal 12 November 2012 kemudian dikuatkan dengan surat edaran Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin tanggal 12 Juli 2013 ini, berisi pengetatan pemberian hak remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat bagi narapidana (Napi) tindak pidana terorisme, narkotika dan prekusor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya (kejahatan luar biasa). Bagi pihak yang pro, PP ini merupakan langkah progresif hukum untuk menanggulangi kejahatan kategori luar biasa tersebut. Berbeda bagi mereka yang kontra dengan PP ini, mereka berpendirian bahwa PP tersebut bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menjadi landasan pembentukan PP tersebut, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ketertarikan peeliti tertuju pada bagaimanakah ‘syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan’ berdasarkan PP No. 99 Tahun 2012 ditinjau dari perspektif hak asasi manusia. Pengaturan mengenai perlindungan hak asasi manusia di Indonesia terutama terangkum di dalam Pancasila, UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999, dan Universal Declaration of Human Rights. Di dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa pelaksanaan hak dan kebebasan setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang. Apabila kita kembalikan pada undang-undang yang mengatur tentang pemasyarakatan, yaitu UU No. 12 Tahun 1995, di dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i, j dan k dinyatakan bahwa narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), asimilasi, dan pembebasan bersyarat. Kemudian penjelasan huruf i dan j undang-undang tersebut menyatakan bahwa hak diberikan setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Pada ayat (2)nya menyatakan ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Artinya bahwa undang-undang telah memberikan kewenangan dan memberikan penafsiran terbuka bagi lembaga eksekutif untuk mengatur mengenai syarat dan tata caranya melalui peraturan pemerintah. Di dalam PP No. 99 Tahun 2012 tersebut pun berupaya bagaimana agar dalam pemberian hak remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat tetap berpihak pada rakyat tanpa mengabaikan narapidana yang bersangkutan. Syarat pembentukan peraturan perundang-undangan harus mengacu pada landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Landasan filosofis dan sosiologis pembentukan UU No.12 Tahun 1995 menghendaki penerapan sistem pemenjaraan beralih ke sistem pemasyarakatan, dengan harapan warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Artinya bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada akhirnya dapat tercapai persamaan perlakuan dan pelayanan yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Jadi, kebutuhan perlindungan hak asasi manusia bagi narapidana terakomodir dalam PP No. 99 Tahun 2012. Karena hakekatnya PP tersebut masih memberikan hak bagi Narapidana kategori khusus tersebut untuk mendapatkan hak remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat. Namun demi tegaknya hukum dan membantu mengungkapkan kejahatan yang penanganannya lebih sulit dari jenis kejahatan yang lainnya maka penambahan persyaratan tersebut terutama adanya justice collaborator diharapkan akan lebih mudah membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Adapun penambahan persyaratan tersebut pun dimaksudkan untuk memastikan bahwa putusan pengadilan dilaksanakan oleh Narapidana. Inilah yang disebut sebagai kebijakan atau politik hukum pidana (kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana).
Abstrak (Inggris)Since President Susilo Bambang Yudhoyono issued Government Act No. 22 of 2012 (PP No. 22 Tahun 2012) on Second Amendment of Government Act No. 32 of 1999 on Conditions and Procedures of Inmates’ Rights Implementations, there have been numerous pros and cons popped on Indonesia’s political scene. The Act that was signed in 12nd of November 2012 further backed up by a Letter of Memorandum from Minister of Law and Human Rights Mr. Amir Syamsudin dated July 12 2013 that tighten granting of remissions, assimilations and paroles of convicts of terrorism, narcotics and illegal drugs distribution, corruption, national security felony, human rights violations and other international/organized crimes. To the supporting parties this act is viewed as a progressive step in law enforcement to combat these extraordinary crimes. To the opposing parties however, the act is viewed to have contradicted with Statute No. 12 of 1995 on Corrective Services (which was the basis of the act itself), Statute No. 39 of 1999 on Human Rights and Statute No. 12 of 2011 about Formulation of Government Acts and Regulations. The interest of the researcher is mainly focused on “implementation of rights of inmates” according to Government Act No. 99 of 2012 with human rights perspective. Law on human rights protection in Indonesia is abridged in Pancasila, 1945 Constitution, Statute No. 39 of 1999 and Universal Declaration of Human Rights. In article 28J point (2) of 1945 Constitution it is explicitly stated that the observance of civil rights and freedom should abide with boundaries defined by laws. If we observe the act on Corrective Services that is Statute No. 12 of 1995, especially in article 14 point(1) letter I, J and K, it is stated that a convict has rights to be granted remission, assimilation and parole. Further on letter I and j of the article it is stated that the rights should be granted when conditions are met by the convict. On point(2) of the article it is stated that the implementation on the rights is further regulated under Government Act. From this excerpt it is understood that the Statute mandates authority to the government to further regulate the way of how the implementations will be carried out. Government Act no 99 of 2012 regulates how to implement the rights of inmates without hurting the sense of justice of the people. Furthermore, formulation of laws and regulations must be based on philosophical, juridical and sociological groundwork. Philosophical and sociological grounds of Government Act No. 12 of 1995 delineates a change of perspective on system from prison cells to correctional facilities, with the hope that inmates will recognize their mistakes, correct them and return to the inmates’ community as functional , good and responsible members of society. Therefore, the issuance of this government act can be viewed as a way of fulfilling public need. By implementing the act it is hoped that the sense of justice of the people can be addressed. In conclusion, human rights protection of inmates is fulfilled by Government Act No. 99 of 2012. It is because, in essence, the basic rights of inmates to get remission, assimilation and parole are still accommodated in it. However by adding “Justice Collaborator” as extra condition in getting those rights, the act also satisfies its function as a tool to prevent and uncover special crimes which are naturally hard to do. Inclusion of this extra condition is meant for the inmates to see through their correctional programs. This is another example of policy on correctional law (crimes eradication trough correctional law policies).
Kata KunciKata Kunci : PP No. 99 Tahun 2012, Pengetatan Remisi, Hak Asasi Manusia, Warga Binaan
Nama Pembimbing 1H. A. Komari, S.H., M.Hum.
Nama Pembimbing 2Tenang Haryanto, S.H., M.H.
Tahun2010
Jumlah Halaman2
Page generated in 0.0704 seconds.